Hujan
deras turun sejak pagi tadi, air jernih ini mulai merayap nyusup ke celah –
celah dinding base camp bilik bambu yang
sudah tua dan lapuk, kemudian masuk menuju lubang –lubang menganga dari atap
terpal yang telah lusuh dimakan usia dan meluncur turun dengan indah ke
pendaratan terakhir, yaitu di kepala para pencinta alam yang sedang
beristirahat didalamnya.
Setelah
3 jam menunggu, senja mulai datang. Kegelisahan dan rasa cemas terlihat jelas
di wajah masing – masing pendaki, tetapi tidak demikian halnya dengan pak
Wawan, sang ketua regu yang juga merangkap jabatan sebagai ketua umum Pecinta
Gunung Jawa Barat / PGJB, senyum manisnya yang selalu tersungging menghiasi
wajahnya dan pembawaannya yang tenang membawa enegi positif bagi seluruh
peserta yang hendak mendaki gunung Kencana di Banten ini.
±
30 menit kemudian, pak Wawan meminta kepada seluruh pendaki untuk melakukan doa
bersama, menurut agama dan kepercayaannya masing – masing dan di pimpin oleh
mang Kabayan, ketua tim relawan yang juga memilki side job sebagai pengendali
cuaca, alias “ pawang hujan “.
Gunung
yang masih “ perawan “ di Banten Selatan ini tidak setinggi gunung Anak
Krakatau, sehingga pendakian menuju puncaknya tidaklah terlalu berat, satu –
satunya cara untuk menembus hutan ini adalah hanya dengan berjalan kaki, namun
penuh dengan kesabaran ekstra dan hanya orang – orang yang memiliki stamina
jasmani prima, selalu eling dan waspada yang dapat lolos dengan selamat pada
ujian alam tersebut.
Malam
telah datang. Pak Wawan meminta kepada para anggota yang bergabung dalam PGJB
agar selau siaga dan waspada selama pendakian, karena berdasarkan pengalamannya
terdahulu, untuk menuju ke kampung suku Badui Dalam di pedalaman Banten, masih
banyak berkeliaran hewan buas, mulai dari ular, kucing hutan sampai harimau.
Keangkeran
gunung yang diapit oleh desa Malingping dan Bayah ini sangat terkenal, selain
hewan buas, berkeliaran jug babi ngepet dan siluman maong yang bisa di lihat
dengan mata telanjang.
Tiba
– tiba, kesunyian di dalam hutan yang mempunyai perubahan cuaca ekstrim di
malam hari ini, pecah oleh suara senapan yang meletus, ternyata pak Wawan
sedang membidik seekor babi hutan yang sedang mengamuk, menyeruduki para
peserta pendaki dibarisan belakang tanpa ampun. Akhirnya babi hutan itu mati
terkena peluru panas yang keluar dari mulut “ Si Hitam “ milik pak Wawan.
Diluar
dugaan, tiba – tiba datang seekor babi hutan yang ukuran tubuhnya sebesar anak
sapi. Alangkah kagetnya kami semua, dengan sigap pak Wawan dan tim relawan yang
telah terlatih dengan baik untuk pendakian ini, memberikan peringatan agar kami
jangan melawan dan jangan lari, tetapi kami semua di minta segera berjongkok
serempak.
Ajaib!
5 menit kemudian giant pig segera berlalu, pergi meninggalkan kami yang masih
ketakutan menuju hutan dan akhirnya menghilang ditelan gelapnya malam.
Jam
menunjukkan pukul 3.00 WIB, berarti sebentar lagi Subuh akan datang. Tetapi
kami masih di dalam hutan, mencari jalan untuk menuju puncak gunung Kencana.
Putus
asa sudah di depan mata, tetapi tidak demikian dengan Mang Kabayan, segera dia
keluarkan seperangkat peta elektronik yang di bawanya dari Jakarta, setelah doa
– doa mustajabnya tidak ampuh lagi.
Peta
digital menunjukkan adanya jalan setapak tak jauh dari tempat kami bertemu
dengan babi hutan raksasa semalam, tim relawan segera menyelidiki keabsahan
alat elektronik tersebut dan ternyata memang benar ada.
Akhirnya
kami sampai ditempat tujuan, yaitu desa dimana suku Badui Dalam ( penduduk asli
Banten ) bertempat tinggal. Anehnya, selama dalam perjalanan, kami tidak
menemukan jalan menuju puncak gunung Kencana, malahan langsung ke desa dan pada
peta elektronik tersebut tidak ditemukan
lokasi gunung Kencana, tetapi menunjukkan adanya jejak kaki yang cukup jelas
terlihat di tanah yang telah kami lalui.
Kemudian “ Hei kalian!, tahun depan siapa yang mau
ikut dengan saya taklukkan gunung Everest.” Teriak pak Wawan sambil melepas
tawa, tanda puas dan mengelus – elus “ Si Hitam “ kesayangannya.
pengalaman yang luar biasa
BalasHapus