NAMA: DANU DWIKARYA
NPM: 11611741
KELAS: 2SA02
Sosial-Budaya Indonesia di era globalisasi
Di era globalisasi seperti sekarang ini,
sudut-sudut dunia seakan-akan sangat dekat di kehidupan kita sehari-hari.
Informasi dari sudut dunia manapun sangat mudah untuk kita ketahui. Akibatnya
tanpa disadari difusi atau persebaran ide-ide, baik berupa sistem sosial
ataupun budaya dari luar masuk ataupun masyarakat luar menyebar dan mungkin
ikut terinternalisasi dalam kehidupan suatu masyarakat regional tertentu,
seperti masyarakat suatu negara. Persebaran ide-ide tersebut, makin intens
karena didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan para penyedia informasi
yang berlomba-lomba menginovasi diri sebagai penyedia jasa pemberi informasi.
Pengaruh yang kompleks tersebut, sudah pasti mempengaruhi kehidupan masyarakat
/ bangsa suatu negara, tak terkecuali masyarakat dan bangsa Indonesia.
Akhir-akhir ini, sungguh sangat
disayangkan sebagaimana yang kita rasakan, baca, dengar, dan lihat, fenomena
kebangsaan Indonesia begitu sangat memprihatinkan. Gejala-gejala negatif dan
destruktif menjadi gambaran sehari-hari dari fenomena kebangsaan kita sekarang.
Fenomena atau gejala destruktif ini seakan-akan “telah membudaya”. Fenomena
tersebut hampir (nyaris) melingkupi seluruh tatanan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara serta digawangi oleh hampir (nyaris) seluruh lapisan masyarakat
Indonesia, terutama mereka para petinggi yang seharusnya dapat menjadi figur
atau contoh teladan bagi masyarakat Indonesia.
Sebenarnya pertanyaan yang perlu kita
ajukan yaitu, benarkah globalisasi menggerus sistem sosial budaya Indonesia?
Ataukah kita sendiri yang secara sukarela “melepaskan begitu saja” sistem
sosial budaya Indonesia? Atau apakah kita sebagai generasi muda Indonesia tidak
mampu menginterpretasikan gagasan para pendiri bangsa (empat pilar kebangsaan)
Indonesia tersebut dalam era globalisasi? Atau memang generasi sekarang acuh
tak acuh sehingga untuk hal kecil saja dalam upaya pelestarian sistem sosial
budaya Indonesia harus menunggu dan diarahkan oleh generasi tua “terdahulu? Ataukah
ini merupakan fenomena sosial sebagai dampak dari ketidaksuksesan pendidikan
dan dampak dari frustrasi ekonomi, sosial dan politik masyarakat Indonesia?
Tentu dalam pemecahan masalah tersebut
haruslah kita lihat dari berbagai sudut pandang secara komprehensif. Masalah
tersebut mengacu pada karakter bangsa. Pilar-pilar bangsa menjadi fungsi
kebudayaan yang mengikat kebangsaan secara keseluruhan. Runtuhnya
pilar-pilar disebabkan penetrasi budaya terutama arus
globalisasi yang begitu hebat dan lebih pragmatis sehingga bisa menimbulkan
konflik.
Sebenarnya pemecahan masalah tersebut
tidak hanya berkenaan dengan mempatenkan budaya Indonesia, tetapi haruslah kita
cari bagaimana sistem sosial budaya tersebut mampu atau dapat menjadi sesuatu
yang sakral sehingga sebagaimana yang dikatakan oleh Emile Durkheim sistem
sosial budaya tersebut mampu menimbulkan solidaritas, integrasi dan rasa
memiliki terhadap sistem sosial budaya tersebut sehingga dirasakan adanya rasa
ketergantungan dan rasa memiliki anggota-anggota dari masyarakat terhadap ke
sakralkan tersebut. Ini bergayut pada keharusan kita melaukukan “ritual” dari
sistem sosial budaya tersebut sebagai suatu yang sakral, menciptakan
ketergantungan dan solidaritas sosial.
Sebenarnya teori tersebut merupakan teori dari
Emile Durkheim mengenai keberlanjutan suatu agama. Saya sangat terinspirasi
dengan pembelajaran sosiologi agama, termasuk teori-teori para sosiolog
dalam sosiologi agama.
Sistem sosial budaya itu dapat diibaratkan
suatu agama, jika tidak dilakukan dapat menimbulkan rasa bersalah bagi
pemeluknya dan mempengaruhi si pemeluk dalam dinamika sosial kemasyarakatan.
Kesakralan dan ritual tersebut baru berarti apabila diakui oleh anggota
masyarakat lain, begitu pula sistem sosial budaya Indonesia.
Perlu juga kita sadari dan lakukan, bahwa
dalam pelestarian sistem sosial budaya Indonesia itu perlulah dilakukan proses pilih-pilih-buang. Dalam artian membuang
atau menghapuskan nilai atau norma dalam sistem sosial budaya Indonesia yang
menghambat pembangunan, pemberdayaan dan mempengaruhi keterbelakangan
mentalitas bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang dilakukan secara
berani oleh Bangsa Jepang demi kemajuan bangsa dan negaranya. Ini dapat
memperkokoh dan memperkuat keyakinan kebangsaan dan bernegara karena secara
nyata inilah yang disebut sebagai kesadaran sosial dalam upaya mengukuhkan dan
memperkuat eksistensi masyarakat Indonesia. Selain itu, terus menerus untuk
melaksanakan tradisi yang mendukung kemajuan bangsa seperti hidup sederhana,
hemat, gotong-royong dan tolong menolong dalam kebenaran.
Kita tidak memiliki strategi kebudayaan
sehingga permasalahan pokok pun mudah saja mengobati. Ke depannya harus
ada strategi kebudayaan. Kita belum mempunyai kebudayaan
komprehensif yang mengakibatkan nilai-nilai luhur tidak ada. Maka sangat
penting dan sungguh merupakan hal yag urgen (mendesak) untuk menerapkan
strategi efektif internalisasi budaya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Dan akhirnya sikap dan perilaku optimis dan optimisme untuk menjadi lebih baik
untuk bangsa dan negara Indonesia dapat menjadi pemacu individu dan kelompok
dari keberagaman bangsa Indonesia untuk mewujudkan Bangsa dan Negara Indonesia
yang maju, adil dan beradab di hadapan dunia dan terutama di hadapan Tuhan Yang
Maha Esa.
Source: http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/19/sistem-sosial-budaya-indonesia-di-era-globalisasi-470839.html